Aku
menarik tangan Icha, tapi sia-sia, anak itu sangat bandel. Icha tertawa riang,
bangga, akhirnya berhasil menangkap salah satu ikan. Aku mendengus sebal, siapa juga yang akan bertepuk tangan?
“Ikannya
bisa mati, Icha!” Aku berseru melihat Icha membiarkan ikan itu berlama-lama di tangannya.
“Lihat
tuh, dua matanya aja masih melek.” Icha membolak-balikan ikan kecil itu. Aku
menepuk jidatku. Mama datang begitu mendengar suara ribut di kamarku. Ekspresi
Mama juga sama sepertiku, heran melihat monters kecil itu dengan melipat dahi.
Mama langsung mengambil ikan itu dari tangan Icha. Hasilnya? Monster kecil itu merajuk, duduk di lantai, menangis,
menghentak-hentakan kedua kakinya.
“Besok
Mama beliin sendiri, pokoknya lebih besar dari ini.” Mama menunjuk aquarium di
atas meja. Setelah puas menangis di kamarku, Icha baru mau beranjak setelah
mendengar suara penjual es krim yang biasanya lewat di depan rumah setiap sore.
Icha langsung lupa soal ikan, sekarang sibuk merajuk minta dibelikan es krim.
Aku menyibak poni didahiku. Andaikan saja penjual es krim itu lewat tiga kali
dalam sehari, aku pasti akan sangat tertolong.
Aku
hanya tinggal di rumah ini bersama Mama dan Icha. Papa, dua tahun yang lalu
meninggal karena serangan jantung. Dua tahun terakhir Mama menjadi tulang
punggung keluarga. Mengurusi dua anak dan satu butik yang letaknya tak jauh
dari rumah. Mama seorang desainer hebat. Aku selalu bangga melihat
kegigihannya. Mama yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan dua anaknya.
“Ma,
kok Papa belum pulang juga?” Icha bertanya hal itu suatu ketika, dengan wajah
polosnya.
“Papa
tidak akan pulang, sayang.” Mama membelai kepala Icha, tersenyum. Aku, tidak
ada yang bisa aku lontarkan untuk membantu Mama menjawab pertanyaan itu.
Setelah aku hitung-hitung, sudah ada sepuluh kali Icha bertanya hal yang
serupa, dan Mama juga akan menjawab sama seperti diatas. Icha masih terlalu
kecil untuk memahami kepergian Papa. Mama menatapku dengan wajah sedihnya. Aku
tahu, setiap menjawab pertanyaan Icha, Mama harus kembali bersedih.
***
“Upacara
apa sih? Ini kan bukan hari senin, gue juga nggak bawa topi!” Aku mendumal
diambang pintu. Dewi yang disampingku malah asyik merapikan poni.
“Ini
kan tanggal 17, jadi ya upacara rutin. Nggak pakai topi nggak masalah.” Dewi
menghentikan gerakan tangannya, memencet jerawat di jidatnya. Aku menampik
tangannya, “Jangan dipencet terus! Tambah gede baru tahu rasa.”
Pukul
tujuh lebih sepuluh menit, murid-murid sudah berbaris rapi di lapangan. Aku dan
Dewi berdiri di barisan agak belakang. Aku cukup risi, Dewi malah terlihat
cuek-cuek saja. Padahal kan tepat dibelakangku adalah barisan cowok!
Upacara
ini, seperti biasanya, sangat membosankan. Aku sibuk mengibaskan tangan, gerah,
jelas saja, matahari semakin terik sedangkan upacara baru berjalan separuh
waktu. Beberapa kali aku juga menyeka pelipisku yang basah oleh keringat. Aku
menghentikan tanganku yang sedang mengelap keringat, mendongak, berjinjit kaki.
Dengan cepat kerumunan itu tercipta. Ada
apa? Aku hanya mengangkat bahu saat Dewi hendak bertanya kepadaku. Ternyata
ada yang pingsan disana! Ah, sudah biasa.
“Fel,
itu kan Farish?” Dewi tak sabaran menepuk lenganku. Aku bisa melihat Farish
dengan jelas setelah aku mendongakkan kepala. Farish seorang diri berjalan ke
ruang UKS, tidak, dia tidak sendiri. Ada perempuan itu! Kenapa harus Farish sendiri yang menggotongnya? Apa tidak bisa
orang lain, selain Farish? Terik
matahari seakan mampu menembus hatiku, lalu melumatnya menjadi butiran abu.
“Ngapain
ke sini? Nanti mantan kamu nyariin.” Aku menegur sinis saat Farish duduk
disebelahku.
“Mantan?”
Farish sedikit kaget.
“Siapa
lagi kalau bukan Bianka.” Aku menatapnya sekilas, tanganku sejak tadi memutar
sedotan di gelas.
“Katanya
nggak bakal cemburu?” Farish tertawa, mencolek pipiku, aku segera menyingkirkan
tangannya.
“Cewek
mana yang nggak cemburu kalau lihat sendiri cowoknya tadi gendong cewek lain!”
Aku menggebrak meja, dia sedikit gentar.
“Tadi
nggak ada maksud apa-apa. Cuma nolongin doang, yank.” Farish sabar
menghadapiku, memintaku agar mau mengerti.
“Kenapa
harus kamu? Apa nggak bisa orang lain?” Aku beranjak berdiri, tanpa menunggu
Farish menjawabnya. Aku berjalan cepat meninggalkan kantin. Farish mengejarku.
“Yank,
jangan ngambek dong.” Dia menarik tanganku. Aku berhenti sejenak, menatap
Farish dengan mata berkaca. Farish erat menggenggam tanganku.
“Lepasin—”
Aku berkata sangat pelan, membuang muka. Farish hampir mengeluarkan sepatah
kata, ragu, lalu melepaskan tanganku. Aku berlalu, membiarkan Farish mematung.
Aku
muram sepanjang jalan pulang, dari dalam bus aku menatap nanar jalan yang
seakan berjalan mundur. Aku memang tidak pulang bersama Farish, meskipun tadi
dia sempat bersikeras mengantarku pulang. Namun
pada kenyataannya? Aku melihat Farish pulang bersama Bianka, yang entah
kali ini memakai alasan atas dasar apa, mungkin sebagai teman SMP. Entahlah,
aku mulai terusik sejak kehadiran Bianka yang sangat kebetulan. Jangan salahkan
aku jika aku bukan lagi Felisa yang manis seperti dulu.
Layar
hp-ku berkedip. Aku melihatnya dari kejauhan. Hp-ku tergeletak begitu saja
diatas meja, aku tidak peduli, malas untuk mengangkatnya. Icha menatapku dan
hp-ku secara bergantian, heran, menggaruk rambut ikalnya.
“Kak
Fel, diapain nih biar hp-nya mau diem?” Icha berteriak jengkel. Aku tidak
keberatan sekalipun dia akan membanting hp itu. Aku memeluk lututku semakin
erat, menangis, meringkuk diatas sofa, menenggelamkan kepala di pangkuanku.
Icha juga sudah diam, bosan memprotes, entah sekarang dia sedang merancang ide
gila apa lagi.
“Fel,
jawab aku.” Suara itu, aku mendongak mendengar suara Farish dari hp itu. Aku
menatap galak ke arah Icha. Monster kecil itu terlalu canggih untuk diam.
Bahkan, Icha sengaja meloundspeaker panggilan
itu.
“Kak
Fel lagi ngambek. Cengeng pula, daritadi nangis terus.” Icha entah dengan
alasan apa sampai dia berani mengatakan hal itu. Kalau tidak ingat dia adik
kandungku, mungkin saja sudah daritadi sendalku melayang. Farish diam, hanya
mendehem. Aku beranjak, berlari meraih hp itu, lantas berkata, “Besok pagi
nggak usah jemput aku lagi.”
***
Hampir
dua minggu hubunganku dengan Farish merenggang. Akhir-akhir ini aku sering
menghindar dari Farish. Aku tidak marah atau membencinya, hanya saja aku tidak
suka dengan keadaan ini. Situasi yang berhasil membuat segalanya berubah dengan
cepat.
Suatu
siang, saat aku bersama Dewi dan Rere duduk didepan kelas, tidak kusangka jika
Bianka datang menghampiriku. Aku tidak melihat wajahnya yang sok-manis, yang
terlihat hanya keculasan.
“Mau
apa?” Aku menegur, berdiri dihadapannya.
“Gue
nggak sangka, lo ini cewek macam apa sih? Tega ya lo bikin Farish menderita!”
Bianka membentak, menudingku bak tersangka. Aku menyeringai.
“Turunin
tangan lo. Sekarang, lo seenaknya koar-koar didepan gue, punya hak apa lo?” Aku
menahan tangannya, lalu menghempaskannya.
“Kalau
lo udah nggak mampu jagain Farish. Mending mulai sekarang lo jauh-jauh deh!”
Bianka mengibaskan tangan. Suasana semakin memanas. Banyak murid yang beringsut
mendekat, menonton dengan saksama. Farish datang, meyibak kerumunan dengan
cepat. Farish menarik Bianka untuk mundur. Kenapa?
Kenapa dia lebih memilih menenangkan perempuan itu?
“Camkan
kata-kata gue tadi! Lo inget satu hal. Gue nggak akan membiarkan lo nyakitin
Farish lagi!” Bianka berteriak kesetanan, menunjukku lagi. Belum puas, Bianka
yang hendak berbalik, tiba-tiba saja menyerangku. Menjambak rambutku. Farish
mencoba melerai. Karena sudah cukup kesal, akhirnya aku melayangkan kepalan
tanganku. Tiga detik. Sempurna mengenai bibir Bianka. Farish sigap menangkap
Bianka yang akan ambruk. Semua mata mengerjap tidak percaya, mungkin bagi
mereka ini tontonan yang sangat menarik. Farish menatapku dengan binar mata
yang sendu. Aku tahu bagaimana Farish menilaiku saat ini. Bila dia bisa
menyadarinya, aku memang sudah berubah. Aku terkesiap begitu melihat Bu Lilik
datang dari balik kerumunan. Aku dan Farish berjalan dengan cengkraman tangan
Bu Lilik. Kami dibawa ke ruang BP. Bu Lilik mulai menginterogasi, menatapku
dengan mata yang memerah. Sosok keibuan itu tertutupi dengan gurat-gurat tegas
di lekuk wajahnya.
“Siapa
yang bertanggung jawab atas keributan ini?” Bu Lilik mendelik tajam. Aku
menunduk takut.
“Lihat
Ibu, Felisa!” Beliau berteriak, tetap dengan suara lembutnya. Aku mendongak,
sedikit melirik Farish yang duduk disampingku.
“Saya
yang bertanggung jawab atas semua ini, Bu.” Farish bersuara lantang. Aku
menoleh, demi apa dia melakukan itu?
“Saya
yang menyebabkan keributan itu terjadi.” Aku tak mau kalah, menimpali kalimat
Farish. Aku tidak mau kalau dia terkena hukuman. Hampir saja Farish memberi
sanggahan lagi, namun aku cepat mencegah, melirik Farish, menggeleng, jangan bicara lagi.
“Fel,
tiga tahun kamu sekolah disini. Baru kali ini kamu membuat saya kecewa.” Bu
Lilik kembali menatapku, menghela nafas panjang.
“Saya
akan menerima apapun hukuman yang Ibu jatuhkan kepada saya.”Aku pasrah,
menggigit bibir.
“Kali
ini Ibu masih memaafkan. Ibu mohon, kejadian ini jangan pernah terulang
kembali.” Bu Lilik berkata pelan, berbaik hati tidak menjatuhkan hukuman
kepadaku. Lantas membiarkan aku dan Farish keluar dari ruangan itu dengan
perasaan lega.
“Fel,
keterlaluan kamu.” Farish menyusulku, berjalan disebelahku.
“Dia
duluan yang cari gara-gara.” Aku melipat tangan di dada, menatap ke arah lain.
“Iya,
tapi nggak harus kan pakai jurus karate?” Farish menarik tanganku, namun aku
menepisnya.
“Belain
aja terus. Aku udah nggak penting lagi kan buat kamu? Ok!” Aku mendorong
bahunya, lalu beranjak pergi dari depannya. Aku sudah muak mendengar Farish
yang selalu membela Bianka.
Aku
kembali ke kelas dengan hati yang tidak karuan. Bayangkan saja betapa remuknya
hatiku. Aku menangis di pojokkan kelas. Rere dan Dewi khawatir mendekat.
“Cup,
cup, cup.” Rere membelai kepalaku.
“Tahu
nggak, Fel? Bianka bibirnya bonyok tuh. Haha, tambah jeber aja.” Dewi bergurau,
menghiburku. Aku sedang tidak berselara menanggapi lelucon itu.
“Gue
takut kehilangan Farish!!” Aku masih terpekur, suaraku serak, masih menangis.
“Hei,
Felisa itu lebih cantik ketimbang Bianka. Apa sih yang dia punya? Modal pantat
gede doang!” Rere sibuk mencibir, tertawa geli. Aku merangkul mereka berdua,
menyeka pipiku dengan lengan.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar