Jumat, 25 Mei 2012

Semua Tentang Kita | part 4




Aku menarik tangan Icha, tapi sia-sia, anak itu sangat bandel. Icha tertawa riang, bangga, akhirnya berhasil menangkap salah satu ikan. Aku mendengus sebal, siapa juga yang akan bertepuk tangan?

“Ikannya bisa mati, Icha!” Aku berseru melihat Icha membiarkan ikan itu berlama-lama di tangannya.

“Lihat tuh, dua matanya aja masih melek.” Icha membolak-balikan ikan kecil itu. Aku menepuk jidatku. Mama datang begitu mendengar suara ribut di kamarku. Ekspresi Mama juga sama sepertiku, heran melihat monters kecil itu dengan melipat dahi. Mama langsung mengambil ikan itu dari tangan Icha. Hasilnya? Monster kecil itu merajuk, duduk di lantai, menangis, menghentak-hentakan kedua kakinya.

“Besok Mama beliin sendiri, pokoknya lebih besar dari ini.” Mama menunjuk aquarium di atas meja. Setelah puas menangis di kamarku, Icha baru mau beranjak setelah mendengar suara penjual es krim yang biasanya lewat di depan rumah setiap sore. Icha langsung lupa soal ikan, sekarang sibuk merajuk minta dibelikan es krim. Aku menyibak poni didahiku. Andaikan saja penjual es krim itu lewat tiga kali dalam sehari, aku pasti akan sangat tertolong.


Aku hanya tinggal di rumah ini bersama Mama dan Icha. Papa, dua tahun yang lalu meninggal karena serangan jantung. Dua tahun terakhir Mama menjadi tulang punggung keluarga. Mengurusi dua anak dan satu butik yang letaknya tak jauh dari rumah. Mama seorang desainer hebat. Aku selalu bangga melihat kegigihannya. Mama yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan dua anaknya.

“Ma, kok Papa belum pulang juga?” Icha bertanya hal itu suatu ketika, dengan wajah polosnya.

“Papa tidak akan pulang, sayang.” Mama membelai kepala Icha, tersenyum. Aku, tidak ada yang bisa aku lontarkan untuk membantu Mama menjawab pertanyaan itu. Setelah aku hitung-hitung, sudah ada sepuluh kali Icha bertanya hal yang serupa, dan Mama juga akan menjawab sama seperti diatas. Icha masih terlalu kecil untuk memahami kepergian Papa. Mama menatapku dengan wajah sedihnya. Aku tahu, setiap menjawab pertanyaan Icha, Mama harus kembali bersedih.

***

“Upacara apa sih? Ini kan bukan hari senin, gue juga nggak bawa topi!” Aku mendumal diambang pintu. Dewi yang disampingku malah asyik merapikan poni.

“Ini kan tanggal 17, jadi ya upacara rutin. Nggak pakai topi nggak masalah.” Dewi menghentikan gerakan tangannya, memencet jerawat di jidatnya. Aku menampik tangannya, “Jangan dipencet terus! Tambah gede baru tahu rasa.”


Pukul tujuh lebih sepuluh menit, murid-murid sudah berbaris rapi di lapangan. Aku dan Dewi berdiri di barisan agak belakang. Aku cukup risi, Dewi malah terlihat cuek-cuek saja. Padahal kan tepat dibelakangku adalah barisan cowok!

Upacara ini, seperti biasanya, sangat membosankan. Aku sibuk mengibaskan tangan, gerah, jelas saja, matahari semakin terik sedangkan upacara baru berjalan separuh waktu. Beberapa kali aku juga menyeka pelipisku yang basah oleh keringat. Aku menghentikan tanganku yang sedang mengelap keringat, mendongak, berjinjit kaki. Dengan cepat kerumunan itu tercipta. Ada apa? Aku hanya mengangkat bahu saat Dewi hendak bertanya kepadaku. Ternyata ada yang pingsan disana! Ah, sudah biasa.

“Fel, itu kan Farish?” Dewi tak sabaran menepuk lenganku. Aku bisa melihat Farish dengan jelas setelah aku mendongakkan kepala. Farish seorang diri berjalan ke ruang UKS, tidak, dia tidak sendiri. Ada perempuan itu! Kenapa harus Farish sendiri yang menggotongnya? Apa tidak bisa orang lain, selain Farish? Terik matahari seakan mampu menembus hatiku, lalu melumatnya menjadi butiran abu.


“Ngapain ke sini? Nanti mantan kamu nyariin.” Aku menegur sinis saat Farish duduk disebelahku.

“Mantan?” Farish sedikit kaget.

“Siapa lagi kalau bukan Bianka.” Aku menatapnya sekilas, tanganku sejak tadi memutar sedotan di gelas.

“Katanya nggak bakal cemburu?” Farish tertawa, mencolek pipiku, aku segera menyingkirkan tangannya.

“Cewek mana yang nggak cemburu kalau lihat sendiri cowoknya tadi gendong cewek lain!” Aku menggebrak meja, dia sedikit gentar.

“Tadi nggak ada maksud apa-apa. Cuma nolongin doang, yank.” Farish sabar menghadapiku, memintaku agar mau mengerti.
“Kenapa harus kamu? Apa nggak bisa orang lain?” Aku beranjak berdiri, tanpa menunggu Farish menjawabnya. Aku berjalan cepat meninggalkan kantin. Farish mengejarku.

“Yank, jangan ngambek dong.” Dia menarik tanganku. Aku berhenti sejenak, menatap Farish dengan mata berkaca. Farish erat menggenggam tanganku.

“Lepasin—” Aku berkata sangat pelan, membuang muka. Farish hampir mengeluarkan sepatah kata, ragu, lalu melepaskan tanganku. Aku berlalu, membiarkan Farish mematung.


Aku muram sepanjang jalan pulang, dari dalam bus aku menatap nanar jalan yang seakan berjalan mundur. Aku memang tidak pulang bersama Farish, meskipun tadi dia sempat bersikeras mengantarku pulang. Namun pada kenyataannya? Aku melihat Farish pulang bersama Bianka, yang entah kali ini memakai alasan atas dasar apa, mungkin sebagai teman SMP. Entahlah, aku mulai terusik sejak kehadiran Bianka yang sangat kebetulan. Jangan salahkan aku jika aku bukan lagi Felisa yang manis seperti dulu.



Layar hp-ku berkedip. Aku melihatnya dari kejauhan. Hp-ku tergeletak begitu saja diatas meja, aku tidak peduli, malas untuk mengangkatnya. Icha menatapku dan hp-ku secara bergantian, heran, menggaruk rambut ikalnya.

“Kak Fel, diapain nih biar hp-nya mau diem?” Icha berteriak jengkel. Aku tidak keberatan sekalipun dia akan membanting hp itu. Aku memeluk lututku semakin erat, menangis, meringkuk diatas sofa, menenggelamkan kepala di pangkuanku. Icha juga sudah diam, bosan memprotes, entah sekarang dia sedang merancang ide gila apa lagi.

“Fel, jawab aku.” Suara itu, aku mendongak mendengar suara Farish dari hp itu. Aku menatap galak ke arah Icha. Monster kecil itu terlalu canggih untuk diam. Bahkan, Icha sengaja meloundspeaker panggilan itu.

“Kak Fel lagi ngambek. Cengeng pula, daritadi nangis terus.” Icha entah dengan alasan apa sampai dia berani mengatakan hal itu. Kalau tidak ingat dia adik kandungku, mungkin saja sudah daritadi sendalku melayang. Farish diam, hanya mendehem. Aku beranjak, berlari meraih hp itu, lantas berkata, “Besok pagi nggak usah jemput aku lagi.”

***

Hampir dua minggu hubunganku dengan Farish merenggang. Akhir-akhir ini aku sering menghindar dari Farish. Aku tidak marah atau membencinya, hanya saja aku tidak suka dengan keadaan ini. Situasi yang berhasil membuat segalanya berubah dengan cepat.


Suatu siang, saat aku bersama Dewi dan Rere duduk didepan kelas, tidak kusangka jika Bianka datang menghampiriku. Aku tidak melihat wajahnya yang sok-manis, yang terlihat hanya keculasan.

“Mau apa?” Aku menegur, berdiri dihadapannya.

“Gue nggak sangka, lo ini cewek macam apa sih? Tega ya lo bikin Farish menderita!” Bianka membentak, menudingku bak tersangka. Aku menyeringai.

“Turunin tangan lo. Sekarang, lo seenaknya koar-koar didepan gue, punya hak apa lo?” Aku menahan tangannya, lalu menghempaskannya.

“Kalau lo udah nggak mampu jagain Farish. Mending mulai sekarang lo jauh-jauh deh!” Bianka mengibaskan tangan. Suasana semakin memanas. Banyak murid yang beringsut mendekat, menonton dengan saksama. Farish datang, meyibak kerumunan dengan cepat. Farish menarik Bianka untuk mundur. Kenapa? Kenapa dia lebih memilih menenangkan perempuan itu?

“Camkan kata-kata gue tadi! Lo inget satu hal. Gue nggak akan membiarkan lo nyakitin Farish lagi!” Bianka berteriak kesetanan, menunjukku lagi. Belum puas, Bianka yang hendak berbalik, tiba-tiba saja menyerangku. Menjambak rambutku. Farish mencoba melerai. Karena sudah cukup kesal, akhirnya aku melayangkan kepalan tanganku. Tiga detik. Sempurna mengenai bibir Bianka. Farish sigap menangkap Bianka yang akan ambruk. Semua mata mengerjap tidak percaya, mungkin bagi mereka ini tontonan yang sangat menarik. Farish menatapku dengan binar mata yang sendu. Aku tahu bagaimana Farish menilaiku saat ini. Bila dia bisa menyadarinya, aku memang sudah berubah. Aku terkesiap begitu melihat Bu Lilik datang dari balik kerumunan. Aku dan Farish berjalan dengan cengkraman tangan Bu Lilik. Kami dibawa ke ruang BP. Bu Lilik mulai menginterogasi, menatapku dengan mata yang memerah. Sosok keibuan itu tertutupi dengan gurat-gurat tegas di lekuk wajahnya.

“Siapa yang bertanggung jawab atas keributan ini?” Bu Lilik mendelik tajam. Aku menunduk takut.

“Lihat Ibu, Felisa!” Beliau berteriak, tetap dengan suara lembutnya. Aku mendongak, sedikit melirik Farish yang duduk disampingku.

“Saya yang bertanggung jawab atas semua ini, Bu.” Farish bersuara lantang. Aku menoleh, demi apa dia melakukan itu?

“Saya yang menyebabkan keributan itu terjadi.” Aku tak mau kalah, menimpali kalimat Farish. Aku tidak mau kalau dia terkena hukuman. Hampir saja Farish memberi sanggahan lagi, namun aku cepat mencegah, melirik Farish, menggeleng, jangan bicara lagi.

“Fel, tiga tahun kamu sekolah disini. Baru kali ini kamu membuat saya kecewa.” Bu Lilik kembali menatapku, menghela nafas panjang.

“Saya akan menerima apapun hukuman yang Ibu jatuhkan kepada saya.”Aku pasrah, menggigit bibir.

“Kali ini Ibu masih memaafkan. Ibu mohon, kejadian ini jangan pernah terulang kembali.” Bu Lilik berkata pelan, berbaik hati tidak menjatuhkan hukuman kepadaku. Lantas membiarkan aku dan Farish keluar dari ruangan itu dengan perasaan lega.

“Fel, keterlaluan kamu.” Farish menyusulku, berjalan disebelahku.

“Dia duluan yang cari gara-gara.” Aku melipat tangan di dada, menatap ke arah lain.

“Iya, tapi nggak harus kan pakai jurus karate?” Farish menarik tanganku, namun aku menepisnya.

“Belain aja terus. Aku udah nggak penting lagi kan buat kamu? Ok!” Aku mendorong bahunya, lalu beranjak pergi dari depannya. Aku sudah muak mendengar Farish yang selalu membela Bianka.


Aku kembali ke kelas dengan hati yang tidak karuan. Bayangkan saja betapa remuknya hatiku. Aku menangis di pojokkan kelas. Rere dan Dewi khawatir mendekat.

“Cup, cup, cup.” Rere membelai kepalaku.

“Tahu nggak, Fel? Bianka bibirnya bonyok tuh. Haha, tambah jeber aja.” Dewi bergurau, menghiburku. Aku sedang tidak berselara menanggapi lelucon itu.

“Gue takut kehilangan Farish!!” Aku masih terpekur, suaraku serak, masih menangis.

“Hei, Felisa itu lebih cantik ketimbang Bianka. Apa sih yang dia punya? Modal pantat gede doang!” Rere sibuk mencibir, tertawa geli. Aku merangkul mereka berdua, menyeka pipiku dengan lengan.









Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini